Wednesday, October 24, 2007

CED - Program

CARE FOR EXCELLENCE DEVELOPMENT

C E D


Established for growing up the conscience of spirituality

and the attitude for getting best.

Walking together to find the unlimited solving of daily challenges

that tie us into confusing of why we must do something.

We come to get them with care for excellence skills


CED - Program

CARE FOR EXCELLENCE DEVELOPMENT

C E D


PURPOSE AND WORKS

The CED rises from the great hope to come into the depth of daily life.

What actually done in our world by doing something? Our world consists of faith, work, learn, family, children, hope, success, dreams, plans, etc. Because each of our motion will result and influence a new different way of thinking, feeling, and action in our environment of life.

The CED combines the values of spirituality and the human solution skills from any disciplines.

The discipline such as retreats and recollection, the behavior and attitude high performance, to maximize the management of success’ times and chances, the psychology of values in work and learn, leadership, motivation, team and character building, the games of purposes of life, the reinforcement to drive the best solution. All these faculties based on the power of spirituality [Adoro Te].

The space works of CED are all people and groups who want improve their life to success and meaningful.

They are undergraduate [elementary, junior and senior high school], postgraduate, teachers, labors, and all elements of parishes. We invite you to know God’s work in your works. It will make us to do anything more than we can do because there is not impossible in this world in God. Covering your life – all your works – by God power will lead you to unlimited hopes, solutions and all the best prepared to you.

The CED does by care [curing attitudes and responses for expressions] to grasp the excellence skills.

Care is our depth way to explore and grow up CED solution for life. Each of care strategy leads us to know our basic power to reach all peak experiences simply.


Thursday, October 11, 2007

LIFE IS A MOMENT

Pengantar arti hidup – CED

Suatu pagi, seorang warga Texas yang mengenakan sebuah topi berukuran 10 galon [kira-kira 45 liter] pelan-pelan memasuki kantor sebuah gereja dan pelan-pelan menuju ke samping meja panjang. “saya datang untuk berbicara dengan pemimpin babi [head pig] di gereja ini”, dengan percaya diri dan logat yang kental ia berkata pelan-pelan.

“Pemimpin apa ?!” jawab sekretaris itu dengan sangat terkejut.
“Pemimpin babi. Itu, yang mengoceh terus-menerus setiap minggu pagi. Saya hanya ingin berbicara dengannya sebelum saya kembali ke peternakan,” orang Texas itu melanjutkan, sambil memperpanjang setiap suku kata yang diucapkannya.

Karena terperanjat oleh kekurangajaran orang tersebut, sekretaris yang sopan santun itu menegakkan tubuhnya di kursi. Dengan suara seperti seorang guru sekolah dasar menegur muridnya, ia menjawab dengan tegas “Dengarkan. Kami tidak menggunakan istilah yang tidak sopan dalam kantor ini. Kami memanggilnya ‘bapak Pendeta’ atau ‘bapak Gembala’, tidak kurang dari itu.

“Yah,” orang tersebut berkata pelan-pelan, “Saya tidak bermaksud kurang ajar, bu. Saya baru saja menjual sekawanan ternak saya dan mendengar Tuhan yang baik mengatakan kepada saya untuk menyumbangkan satu juta dolar. Saya pikir saya ingin memberikannya kepada gereja ini”.

Dengan suatu semangat baru dalam suaranya, sekretaris tersebut segera menjawab, “Tunggu sebentar di sini. Saya akan memanggil babi [hog] itu”.

Ini tentang sebuah perubahan yang sederhana. Perubahan yang membawa hal berarti dalam hidup seseorang. Sangat jenaka memang, tetapi ia mengandung nilai yang sangat dalam. Sangat dalam karena posisi ini membuat seseorang bisa memandang sesuatu dengan sudut pandang yang lain, secepat ia menyadari ada hal baik di dalamnya.

Perubahan sekecil ini menghantar kita pada sebuah kisah nyata seorang bapak dan keluarganya. Keluarga ini saya jumpai beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 9 Oktober 2007, Green Garden. Sambil makan malam bersama, Pak Buyung menceritakan kisahnya dengan sangat antusias dan ditambah oleh istrinya tercinta, Ibu Marice dan saudari istrinya Ibu Ailin [maaf kalau salah menulis].

Kejadiannya sekitar tahun 2004 sudah 3 tahun sampai tahun ini. Kisah itu bermula dari, suatu siang tatkakla sang Bapak mengalami rasa sakit di dadanya. Ia mulai keringat dingin dan orang-orang di kantornya mulai berdatangan membantu dan membaringkannya. Dalam waktu tidak berapa lama, ia menjadi baik kembali. Namun, akhirnya ia di minta pulang ke rumah untuk beristirahat. Di tengah jalan ia mengalami serangan yang sama, tetapi dalam waktu tidak lama ia menjadi baik kembali. Bahkan di tengah perjalanan, ia sempat menelpon istrinya bahwa ia baik-baik saja dan akan pulang ke rumah. Ia menyetir sendiri.

Namun, kemudian ia segera di telpon oleh boss-nya untuk segera ke rumah sakit. Di tengah perjalanan menuju rumah sakit, ia mengalami serangan lagi. Dan anda para pembaca bisa menebak apa yang terjadi pada diri Pak Buyung, ia mengalami serangan jantung. Ia tidak sadar bahwa yang dialaminya adalah serangan jantung.

Setelah diadakan pemeriksaan di rumah sakit, terjadi penyumbatan di 5 titik, sehingga jika tidak secepatnay ditangani akan sangat berakibat fatal. Kejadian yang terjadi di antara situasi ini tidaklah seluwes dan segampang yang saya ceritakan buat anda. Ada banyak ketakutan, ada kepanikan, ada saling mencari, dan banyak hal yang lain. Ibu Marice mencari-cari dokter, Ibu Ailin menemani masuk ICU, dan banyak keluarga dan sahabat menelpon mencari-cari imam yang bisa memberi sakramen perminyakan [sampai akhirnya datang 2 orang pastor yang memberi perminyakkan]. Para pebaca bisa membayangkan apa yang terjadi di sana Tetapi untuk bisa ditangani dengan segera oleh dokter. Namun demikian, dokter mengatakan bahwa jika terjadi serangan untuk yang berikutnya, ia tidak bertanggungjawab.

Maka, dokter menganjurkan agar pada malam itu juga Pak Buyung segera dibawa ke rumah sakit di Singapura. Maka, akhirnya mereka mencari segala upaya untuk segera sampai di Singapura.

Untunglah segala sesuatu berjalan sesuai dengan harapan. Mereka sampai di Singapura. Dokter langsung mengambil tindakan dan berani menjamin bahwa 90% tidak ada yang perlu ditakuti dan 10% adalah kehendak yang mahakuasa. Maka, pada saat itu, kelegaan seakan menyirami seluruh keluarga yang mengantar. Mereka tersenyum dan melihat ada kehidupan baru di atas setiap kegiatan dalam hidup mereka.

Keluarga Pak Buyung begitu bersyukur dan bahkan mengadakan acara syukuran dimana kurang lebih 100 orang datang. Pak Buyung sendiri mengatakan, “sungguh Tuhan luar biasa. Ia masih memberi kesempatan kepada saya”.

Terlihat dengan jelas bahwa hidup adalah sebuah kesempatan. Kesempatan di atas permainan hidup yang begitu luas. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang akan diasah untuk menjadi lebih tajam. Tajam untuk melihat bahwa hidup itu dicipta bukan dengan sia-sia. Tajam karena hidup itu seakan dipasung namun kemudian terbebaskan yang membuat setiap orang mau membagikan kisah hidupnya dengan yang lain.

Jalan keluar tetap ada. Ia tidak pernah tersembunyi. Hanya setiap orang yang terpenjara dalam setiap masalah yang dihadapinyalah yang membuat seakan-akan jalan itu tidak ada.

Sekian banyak orang mengalami titik balik yang membuat mereka menyadari arti hidup. Sekian banyak orang yang belajar dari pengalaman orang lain dan malihat bahwa hidup adalah sebuah kesempatan untuk berbuat yang lebiah baik.

Pisau yang tajam bukan karena dibiarkan begitu saja. Tetapi karena ia diasah, bergesekan dengan batu asah yang keras. Bagaimana dengan hidup anda?

Sekian banyak orang yang tidak mengalami hal yang seperti ini dan hidup mereka sanat baik. Tetapi jangan lupa untuk bersyukur atas kehidupan anda. Namun, di lain pihak, banyak orang yang mengalami tempaan yang sangat berat. Bahkan kerap mungkin mereka menginginkan sebuah kematian daripada hidup. Tetapi mereka akhirnya bisa keluar dari setiap tantangan hidup, dan melihat hidup tidaklah sia-sia.

Sangat gampang untuk mengubah sebuah posisi tidak beruntung menjadi beruntung. Ada satu rahasia sederhana yang mampu mengubah semau itu yaitu “bersyukurlah atas apa yang masih anda miliki” dan jangan membuang waktu untuk memikirkan yang tidak anda miliki. Memikirkan apa yang sudah tidak anda miliki atau menyesalinya hanyalah membuat anda tetap hidup dalam masa lalu anda. Di saat anda masih berkutat dengan hal itu, di saat yang sama anda masih menyeret masa lalu anda. 58 detik dalam 1 menit kehidupan manusia dipergunakan untuk memikirkan dan menyesali masa lalu. Jumlahkan semua detik itu dalam 1 tahun kehidupan anda berapa hasilnya? Pertanyaannya, mengapa kita tidak menggunakan 58 detik dalam 1 menit hidup kita untuk membangun masa depan?

Di saat anda mengomentari tulisan ini, di saat itu anda hidup dalam alasan-alasan yang anda buat sendiri untuk membatasi diri anda untuk maju selangkah, selangkah dan selangkah lagi ke depan. Bukan berarti bahwa anda pembaca tidak bisa mengomentarinya, tetapi perhatikanlah komentar anda. Jangan sampai hal itu hanya akan membuat anda tidak menyadari esensi [isi] terdalam dari tulisan ini.

Hidup adalah kesempatan. Jika anda membuang setiap kesempatan dalam hidup anda atau malah tidak menyadari setiap kesempatan yang anda miliki, bagaimana mungkin anda bisa meraih impian anda yang besar, rencana atas hidup anda yang luar biasa.

Tuesday, October 9, 2007

Program CED - 05

Beyond The Jobs – CED

Why we must do something? Pertanyaan ini akan membawa kita pada nilai dasar suatu tindakan. Kebanyakan orang melakukan sesuatu hanya demi uang, popularitas, jabatan. Mereka melupakan satu hal bahwa jika mereka melakukan satu hal hanya dengan alasan-alasan semacam ini, bisa saja segala cara menjadi begitu halal.

Why we must do something merupakan sebuah pertanyaan yang akan membawa kita pada sesuatu yang lebih dalam yakni sesuatu yang mengatasi atau yang melampaui segala hal yang kita kerjakan setiap saat [Beyond the Jobs].

Beyond the Jobs adalah sebuah program yang sangat mengandung nilai spiritual. Dalam program ini, kita akan menemukan sekian alasan mengapa kita harus melakukan sesuatu. Sekian pembelaan atas segala yang kita kerjakan. Bahkan akan kelihatan bahwa rutinitas memenggal sekian banyak kreativitas yang pada akhirnya melahirkan tekanan-tekanan. Kita hidup dalam tekanan moral, sosial, tanggungjawab, dan banyak hal lain yang menjadi pemicu hal buruk lain jika kita tidak mengetahui cara untuk mengubah segalanya menjadi baik.

Beyond the Jobs adalah sebuah penemuan yang dokumentatif atas berbagai tindakan [dan juga karakter] yang kita lakukan dengan memposisikan diri kita pada atribut status. Pertanyaannya: “kenapa kita melakukan sesuatu yang berbeda pada posisi yang berbeda?” dan banyak tekanan yang kita ciptakan buat orang lain dan juga diri sendiri, mungkin tanpa disadari. Fakta mengatakan bahwa banyak orang yang tidak peduli akan satu hal jika mereka tidak terlibat di dalamnya [the stranger of a case]. Di sisi lain, mereka begitu peduli bahkan cenderung memaksa jika mereka tergabung di dalam satu hal. Why?

Ada banyak cara untuk melakukan yang terbaik untuk hasil yang luar biasa baik. Beyond the Jobs akan menjadi teman anda untuk mencari solusi yang tepat dan terbaik dalam setiap tindakan anda.


Hubungi kami:
squallvita@yahoo.com

Program CED - 04

Parents Children Heart – CED

Pernahkah anda mendengar bahkan mengenal bahwa ada anak-anak usia remaja bahkan dewasa jarang berbicara dengan orangtuanya. Mungkin bukan hanya jarang bicara tetapi juga tidak senang jika bertemu, melihat orangtua mereka sendiri? Bahkan banyak di antara mereka yang menceritakan masalah mereka pada orang lain dan bukan orangtua mereka. Mengapa?

Parents Children Heart mencoba membuka jalan komunikasi dengan memadukan hati, membongkar semua hambatan, dan terbuka tanpa malu. Banyak orangtua yang tidak atau menyepelekan perkataan anaknya. Banyak orangtua yang kelihatan bagaikan penguasa tunggal sehingga anak-anak jangan banyak menuntut. Banyak orangtua yang tidak mau dikrtitik oleh anaknya sendiri. Banyak orangtua juga yang menjadikan anaknya sebagai korban atas ambisi alih-alih dengan alasan “demi…..”

Parents Children Heart menyambung rasa antara orangtua dan anak, agar mereka tetap menjadi rekan, sahabat entah dalam kesibukkan apapun dan bukan lawan yang berbeda pendapat. Saling berbagi dan mengungkapkan dan mendengarkan apa yang ada dalam hati masing-masing. Bukan tinggal dalam satu rumah tetapi kehilangan arti keluarga, anak dan orangtua.

Parents Children Heart terlahir dari sebuah kepedulian yang dalam akan perubahan yang terjadi dalam diri dan hidup anak-anak tetapi menghadapi tembok yang tidak tergoyahkan dari orangtua dan kebiasaan di rumah.

Parents Children Heart mempertemukan hati ke hati dengan terbuka dengan metode keluarga yang hangat.



Hubungi kami:
squallvita@yahoo.com

Program CED - 03

The Languages of Love – CED

Hidup penuh dengan cinta. Segala sesuatu yang baik terlahir karena cinta. Setiap orang memulai sesuatu dengan cinta. Dan hanya dengan cintalah mereka menemukan segala hal yang mereka impikan. Namun, kerap cinta menjadi begitu dingin. Begitu kaku dan tidak menghangatkan.

Maka, semua hal yang indah bisa berubah.

The languages of Love adalah sebuah program keluarga yang menekankan bagaimana cara anda mengungkapkan cinta dan mendayagunakan bahasa cinta anda. Banyak keluarga yang seakan bermain petak umpet dan saling menunggu tanpa memulai sesuatu yang hangat dalam keluarga. Banyak suami atau istri mengatakan bahwa mereka mencintai pasangan mereka tetapi tidak pernah mengatakan cinta itu sebagaimana masa-masa pacaran mereka. Bahasa cinta bukanlah hal yang lapuk, yang membuat malu jika diungkapkan. Bahasa cinta kadang harus diungkapkan dengan kata-kata dan bukan hanya dengan pemberian hadiah.

The languages of Love mencoba menyemai kembali bahasa cinta anda dan menjadikan keeratan hubungan yang dalam dan penuh makna.

Bahasa cinta yang anda ungkapkan melambangkan seberapa besar cinta yang anda rasakan. Dua pribadi yang bersatu adalah dua kekuatan yang terpadu jadi satu. Jika salah satu membiarkan yang lain akan terbawa arus. Dan akhirnya bisa hancur.

Dengan metode yang hangat dan membuat anda senang, kami mencoba memunculkan nilai-nilai yang dalam dari kehidupan anda.


Hubungi kami:
squallvita@yahoo.com

Monday, October 8, 2007

Program CED - 02

Universal Intelligence – CED

Universal Intelligence, UI, [ kecerdasan semesta] mencakup semua semesta kecerdasan. Telaah ilmiah akan beberapa jenis kecerdasan [IQ, EQ, SQ, PQ, AQ] dan banyak sebutan yang lain hanyalah bagian terkecil dari kecerdasan semesta. Kecerdasan tersebut diangkat karena dilihat ada korelasi langsung dalam kehidupan manusia. Tetapi semua ini, lagi-lagi, hanyalah bagian dari kecerdasan semesta.

Kecerdasan semesta adalah totalitas keutuhan setiap pribadi berhubungan langsung dengan totalitas di luar dirinya. Seorang yang sendirian di tengah malam, bahkan lari terbirit-birit karena takut, bukanlah orang yang tidak memiliki jenis kecerdasan yang tertulis di atas. Seseorang yang baru mengalami suatu hal dan membuatnya tidak mampu berbuat apa-apa, bukanlah orang yang tidak memiliki kecerdasan di atas. Yang terjadi adalah mereka berkutat dalam totalitas dirinya yang terbatas dan tidak mampu keluar.

Kecerdasan semesta adalah penyatuan kedua totalitas internal dan eksternal manusia. Kecerdasan semesta akan bersentuhan langsung dengan alam kehidupan kita. Setiap sisi dari kehidupan kita.

Dalam kecerdasan semesta, kita akan melihat totalitas semesta, sebuah hal yang disebut dengan hukum tarik-menarik, The Attractor Factors. Saat setiap orang menginginkan sesuatu segala hal akan tertarik menuju kepadanya, hanya jika mereka mengetahui kunci rahasia ini.

Kecerdasan semesta adalah melibatkan semua kekuatan komponen di luar diri kita dan menjadikannya berdaya guna untuk mencapai impian masa depan anda.


Hubungi kami:
squallvita@yahoo.com

Program CED - 01

Home School Intelligence – CED

Berbagai gelombang penemuan ilmiah tentang kecerdasan manusia dan cara menggandakan [meningkatkan] kecerdasan tersebut adalah sebuah moment yang begitu bagus dan mendukung kehidupan setiap pribadi.

Sekian banyak hal yang mampu mendukung peningkatan ini bisa sangat menjanjikan kinerja dan impian yang ingin diraih setiap orang. Namun, keadaan ini seakan terpasung dengan sendirinya oleh berbagai kesibukkan yang mengakibatkan kelabilan emosi dalam melakukan suatu hal. Hal ini tidak melihat umur dan label kelulusan. Sebab tatkala siapapun mengungkapkan sesuatu dengan ekspresi yang tidak tepat, ia menyatakan tentang dirinya sendiri.

Home School Intelligence merupakan sebuah penggabungan semua tingkat kecerdasan yang menyasar kinerja para guru untuk lebih excellence dan para murid untuk menemukan apa yang mereka cari dalam hidup.

Home School Intelligence memadukan kecerdasan penyelasaran dan penyelesaian berbagai tugas dalam dua lingkup sekaligus yaitu rumah dan sekolah. Berbagai masalah di rumah bisa membuat seseorang tidak akan pernah bisa menuntaskan tugas-tugas di sekolah. Berbagai tugas di sekolah menyeret siapapun dalam beban yang tidak mudah untuk diselesaikan. Dan jika dua lingkup yang memiliki dilema tersendiri ini menyatu dalam satu pribadi, kita bisa menebak apa yang akan terjadi.

Hidup seakan terkurung dalam lingkaran beban yang tidak berakhir. Kehidupan di rumah membuat tidak betah dan tugas-tigas di sekolah seakan tidak mengenal belaskasihan. Sekolah kerap hanya melihat kualitas intelektual tanpa bisa dengan pasti menyelesaikan keseluruhan persoalan hidup seseorang. Rumah hanya melihat supaya anak tetap baik, ikut aturan, kebutuhannya dipenuhi dan sekaligus membiarkan sisi afeksi, rasa yang sebenarnya paling dalam di dalam hidup seseorang.

Home School Intelligence dengan cara yang kreatif dan berdasar pada spiritualitas akan membawa setiap orang dalam keselarasan hidup dalam rumah dan sekolah.

Home School Intelligence adalah sebuah program CED yang dipandu oleh pendamping dan pembimbing berpengalaman dengan metode yang terpadu.

Hubungi kami:
squallvita@yahoo.com

Wednesday, October 3, 2007

Kumpulan kata

Sekarang biarlah aku pergi
Meninggalkan mimpi bergandeng jiwa abadi
Biar teriak menembus liang tenggorokan licin
Menyeruak, meluap lalu membanjir.
Tanpa basa-basi situbuh nista menista, menyisir melentik

Sebelum engkau menangis, biarlah tangisku mendahului
Berhambur lantas menabur
Dari jauh, meraung, mengintip menyalak
Tambah menengadah mengalah kerdil
Situbuh mungil tak tahu menahu.
Saat itu.
Engkau akan bangun dari tidur nyenyak
Merapikan selimut hangatmu, memuntahkan cairan liur. Itu bagaian hidupmu
Yang paling tidak disukai orang
Tak berucap. Karena hati yang bertanya
Lara lantung mengelantung. Sebelum semuanya hilang
Rambut di kepalamu putih rontok, tapi aku harus tetap bernafas sanggahmu
Menghidupi roh dalam lipatan tubuh
Dan lagi, meratap metapa atap, tak beratap!
Merangkak menuding tak berunding. Siapa salah?
Adam kata hawa, ciptaanMu sendiri!
Lalu kenapa? Itu kata Tanya
Kenapa bukan mati berubah hidup, layaknya mukjizat
Menjelma serpihan diri

[Puisi dari Arycruz]

Monday, October 1, 2007

One of The Biggest Change

Care for Excellence Development gives you the biggest changes in New Configuration Program. Home School Intelligence [HSI] and Parent Child Heart [PCH].

Life full of great life. Sometimes, some person do not know how to head the life. They forget that any cases are folowed by solutions.

Let us get them together.

Thursday, September 27, 2007

Cacat Bukan Masalah Lagi

- Jawaban.com - Mungkin saya adalah seorang yang tidak dibutuhkan oleh manusia. Tidak ada harapan yang lebih baik daripada mengakhiri hidup dalam dunia ini. Tidak ada impian besar dalam menjalani masa mudaku.

Virus polio mengakibatkan kelumpuhan di kedua kaki saya. Kondisi ini menjadi beban moral bagi orang tua juga. Di usia yang menginjak 9 tahun, saya mulai dititipkan untuk diasuh di sebuah panti rehabilitasi. Menyedihkan sekali karena kedua orang tua saya pun hanya meninggalkan alamat dan identitas palsu saat itu. Situasi ini menjadi pemisah hubungan antara saya dengan mereka. Terbuang dari keluarga! Inilah gambaran masa kecilku yang pahit dan keras. Tangisan dan air mata menjadi warna kelam dalam menjalani hari-hariku.
Di panti tersebut, hidup saya benar-benar tidak menikmati keindahan yang semestinya dialami seorang anak kecil. Para perawat selalu berlaku kasar sekali. Dipukul dan disiksa secara fisik membuat hari-hariku bertambah kelam. Suatu saat, disaat kondisi saya sedang lemah, mereka hanya meletakkan saya di atas lemari. Kesedihan ini belum berakhir, bukan hanya fisik saja yang dilukai tetapi batin saya pun menjadi sasaran yang empuk bagi mereka. "Kamu itu hanyalah anak buangan. Orang tuamu tidak pernah memperhatikanmu lagi. Kamu tuh anak yang ditemukan di tong sampah!!!" demikian kata-kata para pengasuh itu kepada saya waktu itu. Kata-kata yang tajam ini telah membunuh kepribadian saya selama kurang lebih 17 tahun.
[Masa lalu yang pahit terus membayangi kehidupan Markus. Hidup Markus menjadi kosong, jiwanya telah mati. Ia tidak lagi melihat adanya masa depan. Hatinya dipenuhi kebencian dan amarah. Jiwanya yang kosong membawanya dalam keputusasaan yang dalam.]
Semakin bertambahnya usia, semakin pula saya terbentuk menjadi seorang yang sulit mempercayai orang lain, terlebih kepada kedua orang tua yang saya tahu telah membuang saya sejak kecil. Di saat-saat menyediri, terbesit dalam benak saya, jika saja saya tidak cacat, tentunya saya dapat menjalani hidup dengan lebih baik. Apa yang orang lain lakukan saya pun dapat melakukannya. Sayangnya, waktu itu saya bukanlah siapa-siapa dan tidak memiliki siapa-siapa. Fisik yang lumpuh ini menjadikan saya seorang yang pesimis dan sering berpikir lebih baik mati saja. Rasanya tidak sanggup lagi untuk menjalani hidup seperti ini.
[Tuhan tidak pernah menutup mata terhadap ciptaanNya. Ia tahu bahwa berbahaya jika seseorang telah kehilangan harapannya. Ada rencana Tuhan yang tidak diketahui Markus sebelumnya, sehingga suatu waktu ia bertemu dengan seorang hamba Tuhan untuk menyampaikan kabar baik dan masa depan bagi Markus yang berada di ujung maut. Peter, ya dialah orang pilihan Tuhan itu yang menyampaikan kasih karunia Tuhan bagi Markus untuk bangkit dari keterpurukannya.]
"Saya mengingat waktu pertama kali berjumpa, Markus memang kelihatan sepertinya sudah putus asa. Pandangan matanya kosong, sepertinya ia tidak lagi mempunyai harapan. Itulah yang membuat saya merasa tersentuh." Ungkap Peter.[Di dorong oleh kasih Tuhan, Peter dengan semangat menjadi sahabat bagi Markus untuk menjawab segala kekosongan dalam hidupnya. Hari demi hari mereka terus bersama sampai pada titik Markus mengakui bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan juruselamat hidupnya.]
"Tuhan memakai Peter untuk menyampaikan isi hati Tuhan. Tidak ada seorang pun yang rela menjadi sahabat seorang yang cacat seperti saya. Tapi kedatangan Peter membuat saya mengenal Bapa di Surga yang menjadi orang tua kekal bagi saya. Ketika saya memutuskan untuk menerima Yesus Kristus 100%, ada kedamaian yang tidak dapat dikatakan. Tidak dapat dibahasakan lagi. Ini adalah mukjizat, sembuh dari dosa kebencian dan menghina diri sendiri. Saya menyadari bahwa saya diterima dan memiliki masa depan cerah!"
[Ajaib! Ya, ajaib perbuatan Tuhan. Apa yang dipikirkan sulit oleh Markus, bisa berubah menjadi sesuatu yang benar-benar baru dan di luar dugaannya. Yang ia tahu bahwa hidup itu sulit tetapi yang Tuhan tahu ialah hidup itu indah bila berjalan bersamaNya.]Saya berdoa dan memohon kekuatan Tuhan supaya bisa mengampuni kedua orang tua yang telah menelantarkan saya. Setelah melakukan hal itu, satu perubahan hidup yang luar biasa saya dapatkan. Pribadi saya pulih. Saya merasakan keadaan yang berbeda. Dulu saya berpikir saya tidak bisa melakukan apa-apa. Tetapi sekarang, apa saja yang orang lain lakukan, saya pun mampu melakukannya karena kasih Bapa di Surga yang telah menyatakan bahwa saya ini berharga dan mulia. [Markus mengampuni orang-orang yang telah membuang dan menyakitinya. Dendam dan kemarahan yang bertahun-tahun menguasai dan menghancurkan jiwanya kini terlepas. Markus menjalani kehidupan yang baru. Tuhan menopang hidupnya sehingga ia menjadi seorang yang berhasil.]
[Bertahun-tahun kemudian kisah Markus dimuat di suatu majalah. Hal ini membuka jalan baginya untuk bertemu dengan keluarganya.]
Setelah 36 tahun saya berpisah dengan mereka semua, akhirnya saya bisa bertemu mereka. Ketika melihat mereka, saya sungguh merasakan betapa saya mengasihi mereka. Betul-betul saya tidak mempunyai perasaan seperti yang tergambar pada saat saya kecil dulu. Saya bisa menerima mereka, berangkulan penuh kasih mesra dengan mereka.
[Terpisah bertahun-tahun tentunya membentuk sebuah gunung besar yang sulit diratakan. Tetapi bagi Tuhan masalah itu bisa berujung pada keindahan yang luar biasa. Markus sekeluarga menjalani hari-harinya dengan penuh ucapan syukur. Tuhan Yesus memulihkan masa lalunya dan memberikan masa depan yang pasti baginya.]
Secara fisik saya merasakan bahwa saya belum apa-apa tetapi pribadi saya mengatakan bahwa saya tidak cacat lagi. Pribadi saya mengatakan bahwa saya adalah sempurna. Yang mengakibatkan saya bisa pulih ialah karena Tuhan Yesus yang hadir dalam hidup saya. (Kisah ini telah ditayangkan 3 Juli 2003 dalam acara Solusi di SCTV).
"Ketika seseorang dipertemukan dengan KASIH BAPA, orang itu akan menjadi seperti apa yang BAPA inginkan ia alami!"

Sumber Kesaksian :
Markus Kristianto

Sunday, April 22, 2007

View of Film

KING KONG

Starring Fay Wray, Robert Armstrong, Bruce Cabot, Frank Reicher, and Noble Johnson
Directed by Merian C. Cooper and Ernest B. Schoedsack & written by Cooper, Edgar Wallace, James Ashmore Creelman, and Ruth Rose
1933
106 min NR

Hooray for stop-motion.

In its screaming, primal, “step-right-up!” kind of way, “King Kong” really is one of the best movies ever made. I mean, an ape the size of a house, fighting biplanes atop the Empire State Building—that is a great image. “Kong” certainly plays differently today than when it was first released more than seven decades ago, as a strange social document, as a movie within a movie, and, most famously, as a surreal, nightmarish experience. Stop-motion effects, with their twitching clay fur and otherworldly movements, may no longer be considered “convincing.” Maybe they never were, but they have a beautiful artifice that’s better than convincing.

I’ve been getting into
Guy Maddin more and more lately—the contemporary Canadian filmmaker who shoots with sets, acting, and effects from cinema’s early days—and I’ve recently seen Fritz Lang’s gallivanting good time “Die Nibelungen,” with no effects greater than double exposures and good photography. “Kong” is a celebration, not only of stop-motion, but of miniatures, puppets, matte paintings, and rear projection. It’s hard to describe its ghostly, flickering allure. To mention giant apes and dinosaurs doesn’t do “Kong” justice, because stop-motion monsters are a species all their own, with a magic all their own. We don’t like “Kong” because it reminds us of reality any more than we like Jackson Pollack or a medieval icon.

“King Kong” is the biggest, baddest, “every-trick-in-the-book” example of this fearless, unconvincing stuff, pitting the eponymous, house-sized ape against dinosaurs, islanders, sailors, and, eventually, New York itself. Fresh from all that was mastered in the fleeting silent era, the ape’s wordless “performance” deserves mention next to any silent actor. Yes, he rages, screams, beats his chest, and pounds monsters like a boxer. But he is also sad, curious, forlorn, desperate, and confused, all without the help of a single word, and often without facial expressions, either. It’s all in the shoulders, arms, and movements of his head (and Max Steiner’s score).

Watch how he picks up Fay Wray like a human would pick up a ferret. He tickles her, sniffs his fingers, tickles her again, and peels off bits of her clothes like petals from a flower. Willis O’Brien is the animator genius behind, and the mentor of the late, great Ray Harryhausen (“Clash of the Titans”). The Kong head used for close-ups, often of people being eaten, is not nearly as interesting as the full-bodied monkey.

But Kong does rage, scream, beat, and pound, and it’s seldom mentioned just how brutal “King Kong” is. That he climbs atop a T-rex and breaks it jaw, bringing forth a stream of strawberry jelly, is rough enough. But what burns itself in your brain is how, moments later, he toys with the downed monster’s jaw, opening it, shutting it, like a little boy, making sure it’s defeated. Scenes censored for years but restored for the sparkling new double-DVD include lingering, almost fetishistic shots of sailors tumbling to the bottom of a ravine, one-by-one. Kong never eats anyone—instead he victims them in his mouth, bites, then discards the limp corpses. Fleeing bystanders are hit with rumble. He doesn’t just step on islanders, he crushes on their heads in the mud. Most brutal of all is when he tears around New York in search of his beloved blonde. He mistakes a sleeping woman for his love, pulls her out the window, then indifferently lets her tumble to a crowded street when he realizes his error. Kong treats us the way we treat insects.

Of course a lot of “King Kong” plays as camp now. Even on the DVD commentary Ray Harryhausen cracks jokes about the fate of islanders, flying bodies, and things of that sort. But the movie is more than just effects—once the beast appears, director Merian C. Cooper stomps the gas and never lets it up, giving the movie the heedless, headlong motion of an hallucination (something of which Peter Jackson should have taken note in his
2005 remake). There are some truly magnificent “handheld” shots, from the POV of the attacking biplanes, while a forlorn Kong is atop the Empire State Building. “King Kong,” like many early movies, is also interested in the nature of film itself. It continually gives us frames within frames, almost a movie-within-a-movie, prompted by a power-hungry fictional filmmaker without a scruple in his body. Recently, The Amused commented on the movie-within-a-movie qualities of effects pictures like “Harry Potter,” in which characters are, in a way, watching the same special effects that we are, then prompting us to respond with their own “oohs” and “aahs.” “King Kong” does something similar, seven decades early, but instead of directing the audience, asks us to be wary of filmmaking.

Robert Armstrong plays Denham, the half-mad producer who risks the lives and limbs, not only of himself, but of a crew of sailors and his leading lady (Fay Wray). One scene finds him behind the camera, talking her through the motions she should use when she sees something shocking. The scene is so inessential to the plot that executive producer David O. Selznick wanted it cut, yet it provides a mild level of irony or self-awareness. Sexless, more power-mad than greedy, and indifferent to human life—when Denham describes the ease with which Kong shook sailors to their doom off a log bridge, he is in awe of the beast’s power and needs to be reminded that 12 lives were lost. That he receives no comeuppance by the end of the film is proof enough that he is, at least in part, inspired by “Kong” mastermind Merian Cooper. (Cooper, incidentally, invented the “Old Arabian proverb” that opens the film.)

And, of course, “Kong” reflects an ambivalent attitude about race. I can think of two basic interpretations. Neither of them is very politically correct, but one is at least more charitable than the other. On the one hand, the use of Kong as the representation of the ultimate big black man out to rape white virgins is cringe-inducing. But, on the other hand, we’ve taken his side by film’s end. The acting on behalf of the human actors is wooden compared to the monkey’s (it’s not a world of difference between how Heywood Floyd and Dave Bowman are automatons and HAL 9000 is infinitely more human). We are saddened by the separation of this “interracial” couple. And the movie makes it abundantly clear that Kong has no one to blame for his plight except for an industrial world that reduces everything to something that can be bought, sold, or needs to be shot (the blank, thoughtless violence with which Denham dispatches an inert stegosaurus is unmistakable).

It can’t be an accident that, when Kong is finally put on display for snooty New York WASPs, he is in an unmistakable Christ pose. Representing Africa’s descendents in America with a giant ape isn’t the kind of thing you could get away with today. But Cooper—speaking through Denham—gives added depth to Kong’s tantrum through the industrial world, a world he neither understands nor desires: “he was a king in his own land, but now he has been brought to you, in chains, for your amusement!” Maybe the 1933 audience felt that Kong’s death is a happy ending, but modern audiences see him as a poor schlubb, suffering from unrequited love, trapped in a world he can’t fathom. He’s not that different from the hero of Richard Wright’s “Native Son,” even if the comparison is patronizing.

As for the story—well, it’s clipped, efficient, gets to the point, making way for some of the most indelible icons in all the movies—a massive operatic pastiche. It doesn’t make an enormous amount of sense. No one explains what sort of Faustian bargain requires the islanders to sacrifice women to Kong periodically. That some long-lost, forgotten society built a giant wall to protect the islanders from all the monsters kind-of make senses; but why said forgotten society would include a door large enough for Kong to use instead of just a few person-sized doors is never, nor could it ever, be explained. The human acting is often stiff, and the first 45 minutes drag when compared to the frantic, unearthly atmosphere of the middle and the climax. But come on—he’s on top of the freaking Empire State Building beating off biplanes with his fists. That’s why God made the movies.

Finished Thursday, December 22nd, 2005